Di persimpangan hidup tadi, aku rehat sejenak di bahu jalan. Di tengah sepi ini, aku dihampiri pria paruh baya yang terlihat bingung. Sambil memegang bahuku, ia berbicara, “Nak, saya mau tanya, dalam jalan yang kamu pilih, mengapa kamu tidak mengambil jalur Tuhan saja?” ucapnya.
Dengan wajah yang sedikit bingung, aku berusaha menerka arah pembicaraan ini sambil berkata, “Maaf, Pak, di sini banyak sekali jalur, tapi tak ada satu pun yang bisa membawaku ke sana.”
Ia tersenyum lebar dengan tatapan hangat, ia membalasku, “Lalu, mengapa kau ragu? Bukankah kau menolak apa yang tidak di bawah kendalimu? Kau memang tidak bisa mengendalikannya, Nak. Tapi dengan Tuhan, segalanya akan jadi titik kembali.”
Aku tersenyum kecut, malu di hadapannya. Tak lama, ia menitipkan sebuah kertas yang aku pun tak tahu isinya apa.
“Nak, memang ini tak seberapa, tapi mungkin bisa jadi petunjuk dalam apa yang kamu cari,” sembari memberikan secarik kertas.
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dengan perasaan campur aduk antara takut dan penasaran dengan isinya. Kami bersalaman, lalu pria paruh baya itu pergi perlahan dengan langkah yang hati-hati.
Mungkin saja ada petunjuk di kertas ini. Lalu, kubuka dan muncul tulisan:
Untuk apa meragukan Tuhan
Lafaz yang ringan dari bibir,
sering dikabulkan-Nya
Manakala—
Lapar yang mengetuk lambung
Atau haus yang meraba tenggorokan
Hilang sekejap setelah kau berdoa
Bukti sederhana, tapi kau sering lupa
0 Komentar