Sekian purnama, sekian gempita, sekian matahari yang pergi begitu saja seperti orang asing—semua telah berlalu. Kisah-kisah dalam tumpukan buku kini terasa hening, tak satu pun disambut hangat oleh mataku.
Sementara itu, jam dinding kamar terus berdetak, mengikuti aliran jantungku yang bergema sampai ke telinga.
Hatiku tertegun.
Pada malam yang terlalu akrab, aku menumpuk tanya yang tak berani kuucap nyaring. Kaki ini melangkah perlahan ke jendela. Kuangkat wajah ke langit. Ada cahaya pucat menggantung di sana—tak bersuara, tapi terasa dekat. Lalu aku bertanya dalam hati, masihkah Selene, Sang Dewi Bulan, tinggal di lembaran cerita itu?
Dulu, saat aku masih anak-anak dan dunia belum patah seperti sekarang, ibuku kerap bercerita tentang Dewi Bulan yang terang. Dewi Agung yang menumpaki kereta kencana, mengenakan jubah perak, dan menyisir langit malam untuk menuangkan cahayanya ke bumi. Waktu itu aku percaya Selene menulis nasib di kelembutan awan, menanam mimpi-mimpi sehalus sutra ke dalam tidur manusia. Tapi kini, entah mengapa, ia terasa seperti dongeng yang diciptakan untuk membius luka.
Suara jangkrik memecah keheningan malam ini.
Aku masih menatap langit, berharap semesta menjawab kegelisahanku. Atau paling tidak, Selene menampakkan diri—walau hanya sekejap.
Selene.
Datanglah malam ini. Aku ingin berjabat tangan denganmu.
Bukan untuk meminta keabadian, hanya sepotong sinar dari jubahmu, agar hangatnya bisa menari di telapak tanganku. Mungkin tongkat sihirmu bisa memanggil kembali rembulan yang telah lama hilang dari lengkung jemariku. Atau barangkali, kau bersedia merapal mantra langit untuk menjahit benang-benang hidupku yang terputus—agar kembali menjadi ikatan yang kekal.
Selene.
Andai kau sudi menuangkan segelas ramuan dari cahayamu, akan kutenggak dalam-dalam. Tak peduli manis atau pahit, asal mimpi itu mengalir, membawaku ke pelukan seseorang yang dulu pernah menyebut namaku dengan suara gemetar karena rindu.
Angin menyusup, menyapu dedaunan di bawah cahaya bulan. Awan pekat mendekat perlahan, menutup jamuan malam ini. Dan bulan—ia mulai menghilang, seakan tak setuju pada harapanku.
Perlahan, kututup tirai jendela, lalu kembali ke kasur.
Menyudahi hari yang sekali lagi hanya berharap pada Selene.
Menunggu keajaibannya membasuh diriku.
0 Komentar